Pengetahuan mengenai gizi berperan penting dalam pemenuhan kecukupan gizi seseorang. Tingkat pengetahuan akan mendorong seseorang memiliki kemampuan yang optimal berupa pengetahuan dan sikap. Kurangnya pengetahuan terhadap gizi akan mempengaruhi seseorang dalam memahami konsep dan prinsip serta informasi yang berhubungan dengan gizi.(1) Menurut Call dan Levinson bahwa status gizi dipengaruhi oleh dua faktor utama yaitu konsumsi makanan dan tingkat kesehatan, seseorang yang baik dalam mengonsumsi makanan apabila sering mengalami diare atau demam maka rentan terkena gizi kurang. Sedangkan faktor tidak langsung yang mempengaruhi pola konsumsi konsumsi adalah zat gizi dalam makanan, ada tidaknya program pemberian makan di luar keluarga, kebiasaan makan, dan faktor tidak langsung yang mempengaruhi penyakit infeksi adalah daya beli keluarga, kebiasaan makan, pemeliharaan kesehatan, lingkungan fisik dan sosial.(2)

Indonesia mempunyai masalah gizi yang cukup berat yang ditandai dengan banyaknya kasus gizi kurang. Malnutrisi merupakan suatu dampak keadaan status gizi. Stunting adalah gangguan pertumbuhan dan perkembangan anak akibat kekurangan gizi kronik yang ditandai dengan panjang atau tinggi badan menurut usia yang berada dibawah -2 standar deviasi pada kurva pertumbuhan WHO yang ditetapkan oleh Peraturan Menteri Kesehatan RI No.2 Tahun 2020 tentang Standar Antropometri Anak. Upaya pencegahan stunting dimulai dari pemantauan pertumbuhan, apabila ditemukan di Posyandu balita dengan berat badan yang tidak naik maka harus segera diperiksa ke dokter di Puskesmas. Balita yang tidak naik atau berat badan kurang dapat dicegah menjadi stunting dengan mengkonsumsi protein hewani yang cukup.(3)

Prevalensi stunting di Indonesia lebih tinggi daripada negara-negara lain di Asia Tenggara, seperti Myanmar (35%), Vietnam (23%), dan Thailand (16%) dan menduduki peringkat kelima dunia. Stunting disebabkan oleh faktor multi dimensi dan tidak hanya disebabkan oleh faktor gizi buruk yang dialami oleh ibu hamil maupun anak balita. Intervensi yang paling menentukan untuk dapat mengurangi pervalensi stunting oleh karenanya perlu dilakukan pada 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK) dari anak balita. Pencegahan stunting dapat dilakukan antara lain dengan cara pemenuhan kebutuhan zat gizi bagi ibu hamil, ASI eksklusif sampai umur 6 bulan dan setelah umur 6 bulan diberi makanan pendamping ASI (MPASI) yang cukup jumlah dan kualitasnya, memantau pertumbuhan balita di posyandu, meningkatkan akses terhadap air bersih dan fasilitas sanitasi, serta menjaga kebersihan lingkungan.(4)

Stunting perlu mendapatkan perhatian khusus karena dapat meningkatkan mortalitas dan mordibitas serta menghambat perkembangan fisik dan mental anak. Stunting dapat mengakibatkan balita atau baduta memiliki tingkat kecerdasan yang tidak maksimal, membuat anak menjadi lebih rentan terkena penyakit, dan berisiko mengalami penurunan produktivitas di masa depan. Status gizi anak dapat mempengaruhi derajat kesehatan anak itu sendiri, semakin baik status gizinya semakin baik kesehatannya dan lebih jarang sakit anak tersebut. Status gizi tersebut dapat diperoleh dari konsumsi makanan kondisi status gizi yang baik dapat tercapai apabila tubuh memperoleh zat-zat gizi dari makanan. zat-zat gizi tersebut dibutuhkan untuk pertumbuhan fisik, kemampuan kerja sehingga dapat mencapai tingkat kesehatan optimal.(5)

Hasil Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) tahun 2022 menunjukkan risiko terjadinya stunting meningkat sebesar 1,6 kali dari kelompok umur 6-11 bulan ke kelompok umur 12-23 bulan (13,7% ke 22,4%). Hal ini menunjukkan ‘kegagalan’ dalam pemberian makanan pendamping ASI (MP-ASI) sejak usia 6 bulan, baik dari segi kesesuaian umur, frekuensi, jumlah, tekstur dan variasi makanan. Protein penting dalam penurunan stunting. Berdasarkan studi yang dilakukan oleh Headey et.al (2018) menyatakan bahwa ada bukti kuat hubungan antara stunting dan indikator konsumsi pangan berasal dari hewan, seperti susu, daging/ikan dan telur. Evidence juga menunjukan konsumsi pangan berasal dari hewani lebih dari satu lebih menguntungkan daripada konsumsi pangan berasal dari hewani tunggal.(6)

Protein hewani penting dalam penurunan stunting. Studi yang dilakukan oleh Headey et.al (2018) menyatakan bahwa ada bukti kuat hubungan antara stunting dan indikator konsumsi pangan yang berasal dari hewan, seperti daging, ikan, telur dan susu atau produk turunannya (keju, yoghurt, dll). Penelitian ini juga menunjukkan konsumsi pangan berasal dari protein hewani lebih dari satu jenis lebih menguntungkan daripada konsumsi pangan berasal dari hewani tunggal.(7)

Berdasarkan hasil dan pembahasan dalam review literatur yang dilakukan oleh Apriluana, G., & Fikawati, S, maka dapat dibuat simpulan bahwa faktor status gizi dengan berat badan lahir <2.500 gram memiliki pengaruh secara bermakna terhadap kejadian stunting pada anak dan memiliki risiko mengalami stunting sebesar 3,82 kali. Faktor pendidikan ibu memiliki pengaruh secara bermakna terhadap kejadian stunting pada anak dan memiliki risiko mengalami stunting sebanyak 1,67 kali. Faktor pendapatan rumah tangga yang rendah diidentifikasi sebagai prediktor signifikan untuk stunting pada balita sebesar 2,1 kali. Faktor sanitasi yang tidak baik memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kejadian stunting pada balita dan memiliki risiko mengalami stunting hingga sebesar 5,0 kali. Faktor sanitasi yang tidak baik merupakan faktor dominan terhadap risiko anak mengalami stunting.(8)

Diharapkan rangkaian kegiatan peringatan HGN ke-64 agar seluruh pemangku kepentingan untuk berperan aktif menggaungkan makanan pendamping ASI (MP-ASI) untuk anak usia 6-23 bulan yang kaya akan protein hewani dan pemantauan pertumbuhan anak setiap bulan. Apabila berat badan anak tidak naik maka segera periksa ke dokter di puskesmas, demi tercapainya target RPJMN 2020-2024 untuk percepatan penurunan stunting menjadi 14%. Menyongsong Hari Gizi Nasional dengan tema “MP-ASI Kaya Protein Hewani Cegah Stunting“ dan slogan “MP-ASI Berkualitas Untuk Generasi Emas”, menjadikan momen ini sebuah refleksi bagi kita semua untuk meninjau kembali kebijakan dan praktik gizi di Indonesia, terutama dalam konteks pemanfaatan Pemberian Makanan Tambahan (PMT) yang kaya protein hewani. Esensi dari Hari Gizi Nasional tidak hanya sebatas seremonial, tetapi juga sebagai ajang penyebaran kesadaran akan pentingnya nutrisi bagi kesehatan masyarakat. Di tengah kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, PMT lokal kaya protein hewani muncul sebagai salah satu solusi vital dalam memperkaya asupan gizi bangsa.

Daftar Pustaka

  1. Fitri, U. EDUKASI GIZI PADA PASANGAN PRA NIKAH DI PROPINSI RIAU. (2023). TEMU ILMIAH NASIONAL PERSAGI, 4, 257 – 262. https://tin.persagi.org/index.php/tin/article/view/63
  2. Supariasa IDN, Bachyar Bakri, Ibnu Fajar. Penilaian status gizi. 2nd ed. Jakarta: Egc; 2016
  3. https://ayosehat.kemkes.go.id/pub/files/73a76652271351458be376ef2de6a7f0.pdf
  4. Sutarto, S. T. T., Mayasari, D., & Indriyani, R. (2018). Stunting, Faktor ResikodanPencegahannya. Agromedicine Unila, 5(1), 540-545.
  5. Migang, Y. W. (2021) ‘Status Gizi Stunting Terhadap Tingkat Perkembangan Anak Usia Balita’, PREPOTIF : Jurnal Kesehatan Masyarakat, 5(1), pp. 319–327. doi: 10.31004/prepotif.v5i1.1646.
  6. https://ayosehat.kemkes.go.id/agenda-kegiatan/hari-gizi-nasional-2024
  7. Headey, D., Hirvonen, K., Hoddinott, J., & Stifel, D. (2019). Rural food markets and child nutrition.
  8. Apriluana, G., & Fikawati, S. (2018). Analisis faktor-faktor risiko terhadap kejadian stunting pada balita (0-59 bulan) di negara berkembang dan asia tenggara. Media Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 28(4), 247-256.
Cegah Stunting Untuk Generasi Emas Indonesia
Open chat
Butuh Bantuan ?
Hello 👋
Apa Yang Bisa Kami Bantu ?